Perjalanan yang Sudah DisuratkanNya

2:58 pm


Bukan, ini bukan tentang perjalanan heroik seperti milik yang lain. Ini pun bukan cerita tentang betapa menakjubkannya hijrah karena sampai detik ini pun aku masih belajar--tidak tahu titik hijrah yang mana. Ini lebih tentang momen ku sadar apa yang seharusnya kusadari.

Ku hidup di lingkungan dengan basic agama yang cukup kuat. Dari kecil, sudah dibiasakan melakukan ibadah rutin, belajar menutup aurat, hingga masuk sekolah islam. Bahkan ketika masuk sekolah swasta dan harus mengenakan rok pendek, bisa serisih itu dan memutuskan berhijab saat masuk SMP. Ketika menjejakkan kaki di SMA pun, pondasi ini masih sangat kuat. Walaupun SMA ini merupakan SMA negeri, tetapi amalan yang diajarkan Islam sangat dijalani di sini, seperti sholat berjamaah, tilawah setiap pagi, sedekah, menyapa dengan salam, menjaga hijab (tidak bolehnya bersentuhan dengan yang bukan mahram), bahkan tidak boleh pacaran bagi anak organisasi. Aturan yang bikin geger namun memang sesuai syariat Islam. Tidak heran SMA ini sering disebut Setengah (Madrasah Aliyah).

Hidup yang "baik-baik" saja sedari kecil membuatku cukup kaget ketika masuk kuliah. Hidup jauh dari orang tua atau lingkungan yang pernah ada. Benar-benar serba sendiri, termasuk perihal membentengi diri. Apa yang sudah diamalkan dari dulu, ternyata berguguran satu per satu. Hidup lebih banyak mengejar duniawi. Walaupun seperti ini, aku masih mendapat cap "baik" dari teman-temanku sehingga aku pun masih merasa baik-baik saja.

Hasrat duniawiku lebih kuat ternyata. Mulai masa kuliah, ibuku pun mulai menyingkirkan celana jeans yang kupunya dan menggantinya dengan gamis dan rok. Tetapi aku tetap membeli celana dengan uangku sendiri dan memakainya sehari-hari. Jarang memakai kaos kaki. Ibuku pun sering mengajakku datang ke kajian tetapi aku selalu beralasan. Ketika tidak punya alasan dan harus pergi, hanya bermain gadget selama kajian. Sering bolos ikut mentoring. Ku hanya berpikir "Yang penting kan aku mengerjakan yang wajib, yang sunnah nanti saja lah" atau ketika akhirnya harus melakukan hal-hal tersebut, pasti dengan alasan "Biar Bunda gak marah". Kalau dipikir lagi sekarang, aku memang menjalankan syariat. Bukan karena paham. Bukan karena ingin mendapat ridho-Nya. Tetapi karena sudah terbiasa menjalankan.

Satu titik, aku rindu dengan masa SMA. Masa dimana aku bisa menjalankan syariat dengan sebaik-baiknya. Tidak perlu khawatir kata orang kalo tidak menjabat tangannya. Bisa saling mengucapkan salam tiap bertemu. Aku rindu berada di lingkungan idealis sehingga aku pun bisa menjadi idealis. Ternyata, bukan hanya aku yang merasakan seperti itu. Beberapa teman di SMA merasakannya dan banyak yang turun juga. Mereka setuju dengan prinsip "lingkungan idealis", tetapi apa yang dilakukan kami setelah itu? Tidak ada. Kami menjalani hidup seperti biasa.

Aku dibuat berpikir mengenai banyak hal dalam hidup ini. Setelah lulus, mau ngapain? Kerja? Kuliah lagi? Nikah? Emang udah siap jadi istri seperti istri-istri Rasul? Emang bisa mendidik anak sesuai Quran dan Sunnah? Katanya mau punya anak Hafidz, tapi kok gak berjuang menghapal? Kalau tiba-tiba besok meninggal gimana? Amalannya sudah cukupkah untuk menjauhkanmu dari api neraka? Kalau belum sempet hijrah, udah diambil nyawanya bagaimana?
Dan banyak pertanyaan lain. Lagi. Pertanyaan hanya menjadi pertanyaan.

Suatu waktu, aku butuh sesuatu yang dapat menyegarkan pikiranku. Pencarian di media sosial membawaku kepada salah satu channel youtube yang menyebarkan Islam melalui film. Aku tidak tahu mengapa, tetapi film-film tersebut sangat adiktif. Aku terus menonton berulang-ulang tetapi juga menangis berulang-ulang karena merasa "Kok diri ini gak bisa seperti itu?". Pencarianku pun membawaku kepada salah satu akun instagram yang membuatku menjadi membeli salah satu bukunya. Bukunya pun membuat menangis dan merasa berdosa dengan diri sendiri. Aku pun teringat pada keinginanku untuk "taubat", dimana mau pakai rok terus sejak lulus kuliah (kerudung masih sesukanya), lalu berpakaian sesuai syariat itu ketika sudah menikah. Lalu aku berpikir lagi, "Mau pakai sesuai syariat kok diundur-undur? Memang sih mau nanti setelah menikah biar suami gak kena dosanya, tetapi selama ini berarti kamu membiarkan dosa-dosa itu larinya ke Ayahmu?"

Langsung. Detik itu juga berpikir "Besok harus pakai baju yang benar".

Selain latar belakang ini, ada lagi alasan karena ingin mendapat jodoh yang baik. Jodoh kan cerminan diri kita. Kalau kita mau pasangan taat agama, ya harus taat dulu. Mau punya pasangan cerdas, ya harus cerdas dulu. Alhamdulillah tanpa butuh waktu lama, niat tidak lurus ini segera diluruskan Allah setelah membaca hadits
"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.”. (HR.Bukhari : 52)
Setelah tahu ini, langsung benahin diri dan lurusin niat. Tidak perlu khawatir dengan apa yang ada di dunia setelahnya. Kejarlah Allah dan Rasul-Nya, maka dunia akan mengikuti.

Sekarang pun, bukan berarti baik. Sama kok, masih menjalankan syariat-syariat yang telah dilakukan. Tetapi yang dulu berguguran, akhirnya dilakukan kembali. Yang belum pernah dijalankan, coba dijalankan. Kali ini dengan niat dari diri sendiri. Keinginan belajar pun jadi semakin tinggi seiring menyadari bahwa semakin banyak belajar, semakin merasa kecil dan menyadari kita tak tahu apa-apa. Orang tua pun sangat terharu karena ternyata usaha yang dilakukannya untuk mencekokiku dengan segala macam dan doa-doa yang terkirim, tidak sia-sia. Untuk teman-teman, banyak yang kefilter karena perubahanku ini. Tetapi hal ini tidak kusesali karena bersamaan juga dengan kehidupan di usia 20 tahunan--memang banyak yang datang dan pergi. Aku yakin setiap orang yang Allah kirim ke duniaku pasti memberikan pembelajaran.

Hal yang agak kusesali adalah berkali-kali aku tidak merangkul hidayah yang sudah datang. Berkali-kali aku sadar tapi kudiamkan begitu saja. Mengapa ku tidak menyadarinya lebih awal? Tetapi aku bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan aku berkali-kali untuk sadar. Apalagi seperti yang difirmankan Allah
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).
Berkali-kali pula bersyukur karena masih mendapatkan kesempatan untuk menjadi orang yang dikehendakinya.


Benar kan ceritaku tidak seheroik para pejuang hijrah yang lain? Walau begitu, aku bersyukur. Aku yakin setiap perjalanan itu memang sudah disuratkan Allah kepada hambaNya. Allah kan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya. Perjalanan yang berbeda pun sudah disesuaikan dengan hambaNya. Yang terpenting adalah makna yang didapatkan sama. Wah banget ya kalau dipikir? Karena jadi kamu, mungkin aku tidak kuat untuk berhijrah. Begitu juga sebaliknya. Semoga kamu selalu membalas sapaan lembut dari Allah. Jemput hidayah yang menyapamu karena belum tentu kamu mendapat kesempatan menjadi orang yang dikehendakiNya lagi.

You Might Also Like

0 comments