Sebulan lah ya kurang lebih aku (dan mungkin beberapa dari kamu) memiliki kehidupan yang berbeda dari yang sebelumnya. Beberapa orang mungkin udah bahas ini, but I want to take notes of this for my self-reflection, but also maybe some of you that read this
Di masa pandemik ini, hidup kita pasti relate dengan kehilangan. Don't you realize? Ada orang-orang di luar sana yang kehilangan pekerjaan, rencana perjalanannya, kebebasan, people they love whether because this pandemic or not, kebersamaan dengan orang lain because we have to distance physically, or even, worriness about the future. I'm pretty sure everyone experienced the impact. Konsep kehilangan ini ternyata bisa kita coba pahami berdasarkan 5 stages of grief dari Kubler Ross. Biasanya digunakan untuk orang-orang yang kehilangan orang yang disayanginya karena meninggal.
Imho, 5 stages of grief Kubler Ross ini bisa diaplikasikan di situasi kehilangan yang lain, such as current situation. Ternyata setelah riset, ada istilahnya, yaitu anticipatory grief. Kita merasa takut atas uncertainty yang akan terjadi di masa depan. Kita selalu memikirkan skenario terburuk. Untuk lebih memahami tahapan ini, I will apply in this current situations:
Denial
"This won't affect us"
Ini adalah respon pertama dan defence mechanism yang muncul dari setiap orang. Because we as human, tends to avoid changes, especially when the situation is uncontrollable. Jadi, kita cenderung gak peduli dan meremehkan. Biasanya ketika situasinya belum benar-benar bisa dipastikan.
Anger
"Oh I hate this. It's making me lose my jobs, distancing me and friends"
Kita mulai frustasi karena sadar semua rencana kita gagal, banyak hal yang gak bisa kita lkukan. Kita pun mulai ingin menyalahkan orang lain. Kalau ada bisa disalahin, pasti disalahin deh. Misalnya menyalahkan orang-orang yang kirim berita tentang pandemi ini, padahal pengirim salah apa?
It's a good thing kalau akhirnya kita memilih membatasi trigger-trigger ini atau distraksi ke kegiatan lain.
Bargaining
"Okay, I just have to do this for several weeks, then it become normal"
Kita mulai berandai-andai atau cari celah dari situasi ini. Bisa kali yaa pergi ke tempat A, asal pakai masker dan cuci tangan". Tapi yang harus kita perhatikan itu apakah worthit?
Sadness/Depression
"When will this end?'
Situasi ini biasanya kita mulai overwhelmed. Berita yang tersebar bikin kita makin stressed out. Pekerjaan yang beda banget dengan situasi dulu. Dampaknya mulai terasa di hampir aspek kehidupan kita. Tapi kita pun gatau kapan isi selesai. Gak bisa berpikir dengan baik, maunya tidur aja, tinggalin kerjaan-kerjaan. Helpless banget rasanya, tapi itu wajar. Distraksi diri dari pandemi ini memang jadi salah satu cara terbaik. Cobain hobi baru atau hal-hal baru bisa jadi solusi.
Acceptance
"Now, I have to live in this kind of life, such as work and hang out virtually"
Kita mulai beradaptadi dengan situasi ini. Mulai mengubah rencana yang gagal, bikin rutinitas baru. Well, we try live as normal as possible.
Kessler, salah ahli dalam hal grief ini, menambahkan tahapan selanjutnya, yaitu Meaning.
We're finding the light in these darkest times. Ini bagus banget menurutku, karena kita mulai untuk mengapresiasi hal-hal yang terjadi. Mencari makna dan hikmah dari setiap situasi. Kalau dalam islam, Allah memang menyarankan untuk ini, seperti pada ayatnya di surat At-Taghaabun : 11
Nah, tahapan grief ini bisa berbeda-beda urutannya pada tiap orang. Durasi tiap tahapannya pun akan berbeda karena setiap orang memiliki cara merespon masing-masing. Mungkin memahami situasi ini, tidak terlalu membantu menyelesaikan masalah. Tetapi kalau kita menyadari pada tahap mana kita berada, kita akan lebih tahu apa yang harus kita lakukan. Kita pun jadi tahu apa yang bisa kita lakukan untuk orang-orang sekitar kita. Karena semua orang mengalami setiap tahap ini kok.
Tetap semangat ya!
Well, cliche but it's the best thing that I can give to you.
Resources:
Instagram Kak Jiwi
https://hbr.org/2020/03/that-discomfort-youre-feeling-is-grief
https://www.verywellmind.com/understanding-grief-in-the-age-of-the-covid-19-pandemic-4801931
Di masa pandemik ini, hidup kita pasti relate dengan kehilangan. Don't you realize? Ada orang-orang di luar sana yang kehilangan pekerjaan, rencana perjalanannya, kebebasan, people they love whether because this pandemic or not, kebersamaan dengan orang lain because we have to distance physically, or even, worriness about the future. I'm pretty sure everyone experienced the impact. Konsep kehilangan ini ternyata bisa kita coba pahami berdasarkan 5 stages of grief dari Kubler Ross. Biasanya digunakan untuk orang-orang yang kehilangan orang yang disayanginya karena meninggal.
Imho, 5 stages of grief Kubler Ross ini bisa diaplikasikan di situasi kehilangan yang lain, such as current situation. Ternyata setelah riset, ada istilahnya, yaitu anticipatory grief. Kita merasa takut atas uncertainty yang akan terjadi di masa depan. Kita selalu memikirkan skenario terburuk. Untuk lebih memahami tahapan ini, I will apply in this current situations:
Denial
"This won't affect us"
Ini adalah respon pertama dan defence mechanism yang muncul dari setiap orang. Because we as human, tends to avoid changes, especially when the situation is uncontrollable. Jadi, kita cenderung gak peduli dan meremehkan. Biasanya ketika situasinya belum benar-benar bisa dipastikan.
Anger
"Oh I hate this. It's making me lose my jobs, distancing me and friends"
Kita mulai frustasi karena sadar semua rencana kita gagal, banyak hal yang gak bisa kita lkukan. Kita pun mulai ingin menyalahkan orang lain. Kalau ada bisa disalahin, pasti disalahin deh. Misalnya menyalahkan orang-orang yang kirim berita tentang pandemi ini, padahal pengirim salah apa?
It's a good thing kalau akhirnya kita memilih membatasi trigger-trigger ini atau distraksi ke kegiatan lain.
Bargaining
"Okay, I just have to do this for several weeks, then it become normal"
Kita mulai berandai-andai atau cari celah dari situasi ini. Bisa kali yaa pergi ke tempat A, asal pakai masker dan cuci tangan". Tapi yang harus kita perhatikan itu apakah worthit?
Sadness/Depression
"When will this end?'
Situasi ini biasanya kita mulai overwhelmed. Berita yang tersebar bikin kita makin stressed out. Pekerjaan yang beda banget dengan situasi dulu. Dampaknya mulai terasa di hampir aspek kehidupan kita. Tapi kita pun gatau kapan isi selesai. Gak bisa berpikir dengan baik, maunya tidur aja, tinggalin kerjaan-kerjaan. Helpless banget rasanya, tapi itu wajar. Distraksi diri dari pandemi ini memang jadi salah satu cara terbaik. Cobain hobi baru atau hal-hal baru bisa jadi solusi.
Acceptance
"Now, I have to live in this kind of life, such as work and hang out virtually"
Kita mulai beradaptadi dengan situasi ini. Mulai mengubah rencana yang gagal, bikin rutinitas baru. Well, we try live as normal as possible.
Kessler, salah ahli dalam hal grief ini, menambahkan tahapan selanjutnya, yaitu Meaning.
We're finding the light in these darkest times. Ini bagus banget menurutku, karena kita mulai untuk mengapresiasi hal-hal yang terjadi. Mencari makna dan hikmah dari setiap situasi. Kalau dalam islam, Allah memang menyarankan untuk ini, seperti pada ayatnya di surat At-Taghaabun : 11
"Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Nah, tahapan grief ini bisa berbeda-beda urutannya pada tiap orang. Durasi tiap tahapannya pun akan berbeda karena setiap orang memiliki cara merespon masing-masing. Mungkin memahami situasi ini, tidak terlalu membantu menyelesaikan masalah. Tetapi kalau kita menyadari pada tahap mana kita berada, kita akan lebih tahu apa yang harus kita lakukan. Kita pun jadi tahu apa yang bisa kita lakukan untuk orang-orang sekitar kita. Karena semua orang mengalami setiap tahap ini kok.
Tetap semangat ya!
Well, cliche but it's the best thing that I can give to you.
Resources:
Instagram Kak Jiwi
https://hbr.org/2020/03/that-discomfort-youre-feeling-is-grief
https://www.verywellmind.com/understanding-grief-in-the-age-of-the-covid-19-pandemic-4801931