Kisah Tentang Pemberi Janji
10:58 pmBawah.
Bawah.
Tanganku terus menggeser layar sentuh ini. Melihat kisah sahabat jauh atau dekat tentang harinya. Sampai tanganku menahan larinya lini masa. Terhenti.
Berita bahagia lagi kudengar tentangmu.
Aku tahu kamu bisa. Aku kenal kamu. Sejauh ini memang layak kau dapatkan--kata intuisiku.
Kemudian feeling menyanggah--Yakin kau mau bahagia? Setelah dia tak menyelesaikan ceritanya? Setelah dia selalu mendapatkan apa yang diinginkan dan kau tidak? Setelah dia pergi dengan permisi yang tak layak itu?
"Aku turut bahagia"
Dusta sekian ratus kali yang terus kukatakan. Sebaliknya, ini usahaku untuk melawan takut. Takut melepas apa yang sudah tergenggam. Seperti gadis kecil yang siap sedia melindungi lolipopnya, agar tak jatuh, agar tak diambil yang lain.
Sembilan tujuh dua kali matahari menemani. Sampai akhirnya kau menunjukkan sosokmu kembali. Tanpa ekspektasi. Memenuhi ruang kosong di hati, yang sudah usang berdebu, berisi gambaran, cerita, hingga pesan, tapi yang lalu.
Empat belas kali bintang mengiringi. Sampai akhirnya kau pergi dengan permisi tak layak itu. Dalam tangis di tengah ramai, memendam kecewa menahan rindu. Tapi ternyata aku masih memaafkanmu beberapa ratus jam setelahnya. Karena aku ingat itu janji kita, untuk (saling) memaafkan dan mendoakan.
Sekarang aku takut. Aku belajar ketika kau meraih mimpimu--sejuta mimpimu itu--kau jauh.
Mimpi kali ini kita dambakan bersama. Tapi kau memang layak mendapatkannya.
"Selamat!"
Ucapan yang ingin kuucapkan, tapi kuurungkan penuh harap. Harap kau mendengar ini walau ku tak mengatakan dengan eksplisit.
Dan lagi kau meminta doa. Dalam hati hanya tawa kecil. Tanpa kau minta, pun akan kulakukan, imajiku.
Bukankah itu janji kita?
Ke mana pun kau pergi
Seberapa sakit diri ini
Doa yang terhatur
Pasti mengembalikanku padamu
0 comments