Hidup Ini Mau Dibawa Ke Mana?
12:19 amPertanyaan seperti ini dimulai dari masa ngerjain skripsi. Mungkin setelah skripsi dan dinyatakan lulus, mulai merasa bawa hidup harus siap hidup mandiri dan lepas dari orang tua. Biasanya orang dihadapkan dengan pilihan, mau passion atau materi--yang katanya gak bisa didapatkan dua-duanya.
Buatku, aku ingin hidup sesuai passion. Klise memang. Lalu menghabiskan waktu cukup lama untuk menentukan. Sampai suatu waktu, ternyata aku ingin hidupku untuk bisa membantu orang. Apapun itu, yang penting bisa membantu. Mungkin ini yang dibilang passion. Aku bisa melakukan apapun jika tujuannya meringankan beban orang lain. Aku senang jika orang bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya kayak right man in a right place. Aku pun melihat kemampuan dan kapabilitas yang aku punya cukup relevan dengan ini. Tetapi pada dasarnya sih, membantu itu cuma butuh niat dan ikhlas saja. Didukung lagi dengan hadits yang jadi motto hidup aku selama ini
"Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya" (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni)Makanya interest banget dengan bidang yang bisa membantu memajukan orang lain, personally or team. Pengen banget bisa bantu di sekolah, bikin klinik psikologi sendiri, punya daycare, punya startup dengan basis ini atau NGO.
Tetapi yang bikin cukup berguncang dan menjadi tantangan. Emang kalo melakukan hal ini gak perlu modal? Udah cukupkah modal untuk membantu orang lain. Padahal sebelumnya, aku bilang ya cuma butuh niat dan ikhlas. Tetapi selemah-lemahnya iman manusia, jadi mikir tetap aja butuh modal dan harus kerja dulu biar dapet modal. Padahal Allah sendiri sudah menjanjikan rezeki tiap orang gak akan ketukar ya. Tantangan banget nih untuk teguh berpegang pada janji Allah.
Sebenarnya ditambah lagi dengan kekhawatiran. Apakah pasangan nanti akan merestui passion aku yang kayak gini? Di satu sisi, harus tunduk, namun inginnya juga dapat mencapai aktualisasi diri. Akhirnya sih aku mencoba percaya bahwa belahan jiwa kita adalah cerminan dari diri kita. Allah pasti akan memasangkan dengan yang pas. Ibarat potongan puzzle yang bergerigi, potongan yang lain akan menutupi. Bukan berharap agar kekurangan tertutup karena pasangan, tetapi belajarlah menutupnya bersama.
Jadi, mau dibawa ke mana? Pernikahan pasti masuk dalam pertanyaan ini. Udah sampai usia segini juga. Tiap hari obrolan dengan teman pun arahnya udah ke sana.
"Mau nikah kapan lu? Jangan buru-buru lah nikmatin hidup"
"Uangnya tabung, buat biaya nikah. Sekarang mahal"
"Rumah atau apartemen ya?"
"Tinggal sama orang tua atau dengan pasangan?"
"Calonnya udah ada belum?"
"Emang udah siap punya anak ketika lagi main-mainnya gini?"
Dan berbagai pertanyaan yang lain. Menurut aku, pertanyaan itu hanya bisa terjawab dengan ikhtiar. Ikhtiar dengan cara cari tahu lebih, belajar lebih, memantaskan diri lagi, dan mengejar cintaNya. Soal rezeki, lagi-lagi kan Allah ingatkan dengan janji Allah bahwa rezeki itu sudah diatur dan gak akan ketukar mau usaha bagaimana pun kita. Kalau aku yang ditanya begitu, lebih banyak kujawab dengan "ya kan ini lagi belajar" atau "ya doain saja yang terbaik".
Udah ngapain aja emang Man? Belajar. Belajar. Belajar. Bisa gitu dengan belajar doang? Ya menurut aku sih, kita harus belajar untuk mempersiapkannya. Memantaskan diri juga proses belajar. Ibarat kuliah, sekarang masa-masanya mengenal dan memperdalam materi. Ketika sudah masanya, ya belajar mengaplikasikan. Kalau ada cobaan, itu ibarat ujian. Eval lagi, belajar lagi, eval lagi, belajar lagi. Hidup memang tentang belajar kan?
Ditambah lagi, kalo masuk ke masa-masa tersebut--yang akhirnya kusensor namanya tapi orang-orang paham, bukan hanya tentang aku dan kamu. Tapi juga tentang kita. Aku-kamu, keluargaku-keluargamu, teman-temanku - teman-temanmu, hidupku-hidupmu. Keluargaku termasuk yang suportif. Sepertinya orang tuaku belajar dari pengalamannya dan menyampaikan evaluasinya padaku bahwa jangan terlalu asyik dengan hidup sekarang, siapkan diri juga untuk memenuhi ibadah separuh agama--tuh kan orang tuaku juga belajar. Banyak sharing, banyak diskusi, banyak meminta pendapat. Toh beliau-beliau ini sudah jauh lebih berpengalaman. Kata teori Bandura juga, kita bisa belajar lewat social learning, gak harus ngalamin langsung dulu. Akhirnya muncul deh, harapan-harapan soal kehidupan pemenuh ibadah separuh agama itu. Yang penting, punya keluarga yang berada di jalanNya. Selama berada di jalannya, apapun dapat dilakukan dengan mudah.
Jadi mau dibawa ke mana?
Cuman ingin hidup sesuai dengan passion, didukung orang-orang sekitar, dapat membantu orang lain, dan membawa orang lain--termasuk keluarga--untuk bersama berjuang tetap berada di jalanNya.
0 comments