Orang Tua dengan Anak Special Needs
9:10 pmMalam ini tiba-tiba merenungi berbagai hal yang terjadi dalam beberapa minggu ini.
Di awal bulan ini, kesibukan di sekolah dipenuhi dengan parents meeting. Termasuk untuk diriku sebagai guru baru. Deg-degan banget sih karena ini adalah parents meeting pertama. Terasa seperti proses serah terima dimana orang tua di rumah menyerahkan anaknya kepadaku untuk menjadi tanggung jawabku selama di sekolah. WA! Tegang banget sih.
Di parents meeting ini, aku menghighlight beberapa hal. Sebelumnya, cerita sedikit tentang aktivitasku saat ini. Saat ini, aku adalah special education teacher, jadi orang tua yang aku temui adalah orang tua yang memiliki anak dengan special needs. Special needs itu bisa beragam, mulai dari learning disability, perkembangan kognitif, hingga masalah emosi. Intinya, anak-anak tersebut adalah mereka yang membutuhkan support individual. Belum tentu masalah akademis, namun bisa juga behavior. Nah menurutku, orang tua dengan anak-anak ini adalah orang tua yang kuat.
Aku gak kebayang bagaimana mereka akhirnya bisa dealing with themselves and the world atas kondisi anak mereka. Ya, ketika seorang anak itu dititipkan oleh Tuhan, semuanya pasti ingin anaknya baik dalam segala aspek. Sungguh gak kebayang apa yang ada di pikiran orang tua tersebut ketika menyadari anaknya memiliki keterbatasan. Fase denial pasti terjadi. Ketika sampai fase tersebut, wajar sekali kalo mereka bingung. Orang tua bisa saja memaksa anak mereka untuk "bisa", namun realitanya berkata lain. Sampai akhirnya orang tua menerima kondisi anak mereka, berbagai konflik dialaminya: blaming themselves, dealing with socials, feeling lonely, and so on. Mungkin saja pada umumnya, semua orang tua mengalami fase tersebut ketika anaknya tidak mencapai ekspektasi mereka. Tapi buatku, orang tua dengan special needs sangat hebat karena mereka sadar mereka harus memberikan extra treatment pada anaknya.
Ketika orang tua menitipkan anaknya kepada program inklusi ini, menurutku orang tua sudah menerima kondisi anaknya. Mereka mengusahakan berbagai cara agar anaknya bisa survive normally dan ini adalah salah satunya. Pengalamanku, orang tua ini sangat percaya dengan guru-gurunya. Mereka membebaskan program kepada guru. Kemungkinan sih karena mereka sudah mencoba dan butuh bantuan dari orang lain. Jujur aja aku agak awkward dengan hal ini. Orang tua anak-anak tersebut kan tetap mereka. Merekalah yang lebih tahu bagaimana memperlakukan anak-anaknya. Baiklah. Akhirnya kucoba ambil kepercayaan tersebut sebagai motivasi membantu anak-anaknya.
Oiya, salah satu pengalaman unik yang aku temui kemarin adalah salah satu orang tua berterima kasih kepada guru-guru anaknya karena anaknya berubah signifikan. Beliau sampai berkata, "Aku tuh seneng banget karena akhirnya doaku dikabulkan. Jadi, makasih ya Miss". Beliau mengatakannya sambil berkaca-kaca. Aku sampai panik mau ambil tisu kan. But, aku kan saat itu baru tiga minggu bertemu anaknya? Jadi ku cuma mengiyakan sambil bingung tapi feeling moved. Lah emang aku udah ngapain selama ini? Kok bisa-bisanya percaya sama orang asing ini? Langsung berterima kasih pula? Kalo anak-anaknya diapa-apain gimana?
Ya, namanya juga orang tua. Pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk anaknya walaupun terseok-seok. Aku pun sebenarnya sedang berusaha agar tidak terseok-seok. Kan aku jadi orang tua--functionally--selama kurang lebih 6 jam di sekolah. Doakan semoga ku bisa berhasil ya!
Aku gak kebayang bagaimana mereka akhirnya bisa dealing with themselves and the world atas kondisi anak mereka. Ya, ketika seorang anak itu dititipkan oleh Tuhan, semuanya pasti ingin anaknya baik dalam segala aspek. Sungguh gak kebayang apa yang ada di pikiran orang tua tersebut ketika menyadari anaknya memiliki keterbatasan. Fase denial pasti terjadi. Ketika sampai fase tersebut, wajar sekali kalo mereka bingung. Orang tua bisa saja memaksa anak mereka untuk "bisa", namun realitanya berkata lain. Sampai akhirnya orang tua menerima kondisi anak mereka, berbagai konflik dialaminya: blaming themselves, dealing with socials, feeling lonely, and so on. Mungkin saja pada umumnya, semua orang tua mengalami fase tersebut ketika anaknya tidak mencapai ekspektasi mereka. Tapi buatku, orang tua dengan special needs sangat hebat karena mereka sadar mereka harus memberikan extra treatment pada anaknya.
Ketika orang tua menitipkan anaknya kepada program inklusi ini, menurutku orang tua sudah menerima kondisi anaknya. Mereka mengusahakan berbagai cara agar anaknya bisa survive normally dan ini adalah salah satunya. Pengalamanku, orang tua ini sangat percaya dengan guru-gurunya. Mereka membebaskan program kepada guru. Kemungkinan sih karena mereka sudah mencoba dan butuh bantuan dari orang lain. Jujur aja aku agak awkward dengan hal ini. Orang tua anak-anak tersebut kan tetap mereka. Merekalah yang lebih tahu bagaimana memperlakukan anak-anaknya. Baiklah. Akhirnya kucoba ambil kepercayaan tersebut sebagai motivasi membantu anak-anaknya.
Oiya, salah satu pengalaman unik yang aku temui kemarin adalah salah satu orang tua berterima kasih kepada guru-guru anaknya karena anaknya berubah signifikan. Beliau sampai berkata, "Aku tuh seneng banget karena akhirnya doaku dikabulkan. Jadi, makasih ya Miss". Beliau mengatakannya sambil berkaca-kaca. Aku sampai panik mau ambil tisu kan. But, aku kan saat itu baru tiga minggu bertemu anaknya? Jadi ku cuma mengiyakan sambil bingung tapi feeling moved. Lah emang aku udah ngapain selama ini? Kok bisa-bisanya percaya sama orang asing ini? Langsung berterima kasih pula? Kalo anak-anaknya diapa-apain gimana?
Ya, namanya juga orang tua. Pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk anaknya walaupun terseok-seok. Aku pun sebenarnya sedang berusaha agar tidak terseok-seok. Kan aku jadi orang tua--functionally--selama kurang lebih 6 jam di sekolah. Doakan semoga ku bisa berhasil ya!
0 comments